BAB
I
LATAR
BELAKANG
Keberhasilan
kinerja pemerintahan dapat dinilai dari pembangunan baik di bidang ekonomi,
politik, sosial maupun budaya. Masyarakat luas menilai keberhasilan pembangunan
pada bidang ekonomi yang terwujud dalam pembangunan infrastruktur. Pembangunan
bukan hanya berarti penekanan pada akselerasi dan keberhasilan di bidang
ekonomi. Hal ini sejalan dengan pendapat Michael P. Todaro bahwa pembangunan
merupakan suatu proses multidimensi yang meliputi pula reorganisasi dan
pembaharuan seluruh sistem dan aktivitas ekonomi dan sosial dalam
mensejahterakan kehidupan masyarakat (Kamaludin, 1983:9).
Tujuan
dan sasaran pembangunan yaitu masyarakat adil dan makmur, perlu diusahakan
adanya keserasian dan keselarasan dalam pemakaian sumber daya alam (SDA),
sumber daya manusia (SDM) serta permodalan dan teknologi. Permodalan menjadi
faktor penting dalam pelaksanaan pembangunan, maka perlu ditingkatkannya
pendapatan keuangan dengan menggali sumber-sumber keuangan baik dari SDA, non
migas, jasa, pajak maupun pendapatan-pendapatan lainnya yang sah.
BAB
II
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apakah definisi dari kinerja aparatur menurut
para ahli?
2.
Bagaimana pengukuran kinerja aparatur ?
3.
Apa saja indikator dari kinerja aparatur
?
4.
Apa faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja aparatur?
BAB
III
PEMBAHASAN
a. Pengertian Kinerja Pemerintah
Kinerja pemerintah dalam lingkup kajian organisasi adalah secara makro,
tujuan, dan cita-cita, dan harapan suatu organisasi yang diusahakan
pencapaiannya dan perwujudannya melalui organisasi tersebut. Bahwa sekelompok
orang yang memiliki kesetiaan kepentingan juga diusahakan pencapaiannya melalui
organisasi, sedangkan pada tingkat individu, berbagai tujuan, keinginan,
cita-cita, harapan, dan kebutuhannya hanya bisa tersalurkan, terpenuhi, dan
terpuaskan dengan menggunakan jalur organisasional. Dikatakan sedemikian
maksudnya adalah karena adanya hubungan ketergantungan antara manusia dengan
organisasi dalam arti bahwa manusia tidak mungkin lagi mencapai berbagai
tujuannya tanpa menggunakan jalur organisasional dan sebagainya.
Sementara itu pengertian kinerja itu sendiri menurut
Wibowo (2007:7) “Berasal dari pengertian ‘performance’ yang memberikan pengertian sebagai hasil
kerja atau prestasi kerja.” Namun, sebenarnya Amstrong dan Baron menjelaskan
bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan
tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada
ekonomi. Selanjutnya Sudarto (1999:2) menyatakan bahwa “Kinerja adalah sebagai
hasil atau kerja dari suatu organisasi yang dilakukan oleh individu yang dapat
ditunjukkan secara nyata dan dapat diukur.”
Sejalan dengan pengertian kinerja di atas Mangkunegara
(2007:67) menyatakan sebagai berikut:
Kinerja berasal dari kata job
performance atau actual performance
(prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang).
Pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas
yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik pengertian
bahwa kinerja adalah perbuatan, penampilan, prestasi, daya guna dan unjuk kerja
dari suatu organisasi atau individu yang dapat ditunjukkan secara nyata dan
dapat diukur. Dengan adanya beberapa pengertian kinerja yang telah disebut
diatas, kinerja perseorangan harus lebih diperhatikan karena kinerja organisasi
merupakan hasil kumpulan kinerja perseorangan. Hal ini menunjukkan bahwa
pegawai mempunyai peranan yang penting dalam suatu organisasi, oleh karena itu
seorang pegawai negeri perlu berada pada kondisi yang unggul, artinya mampu
mewujudkan perubahan dengan secara inovatif dan proaktif.
Sementara itu Mustopadidjaja (2002) menjelaskan bahwa
untuk organisasi pemerintahan, kinerja pemerintahan yang baik (good government performance) bukan saja
memerlukan kebijakan yang baik (good policy), tetapi juga system dan
proses pelaksanaan kebijakan yang baik (good policy implementation system
and process); dan kedua hal terakhir itu memerlukan system administrasi
pemerintahan negara yang baik (good publik administration system) yang
mensyaratkan adanya sumberdaya manusia yang baik dan diindahkannya prinsip
"the right men and women and the right places". Kebijakan yang
baik tidak akan menghasilkan kinerja yang baik apabila system dan proses
pelaksanaannya tidak baik, dan kesemuanya itu juga tergantung pada kompetensi
sumberdaya manusianya yang berperan dalam system dan proses kebijakan.
Pengertian ini mengisaratkan bahwa organisasi
pemerintahan hendaknya menjadi organisasi peduli (carring) yang menjadikan pertimbangan moral menjadi dasar utama.
Karakteristik dari organisasi ini adalah kepedulian kepada individu sebagai
makhluk yang memiliki nilai-nilai eksistensi, keuntungan bukan merupakan tujuan
utama tetapi lebih pada internalisasi kebutuhan dan kehendak organisasi,
memberikan dorongan untuk mengaktualisasi dan mengembangkan potensi individu
yang bermanfaat bagi tujuan organisasi.
b.
Pengukuran
Kinerja Pemerintah
Penilaian pelaksanaan pekerjaan merupakan suatu proses
penilaian individu mengenai kemajuan penilaian individu mengenai pelaksanaan
pekerjaan di tempat kerja untuk mempermudah kemajuan secara sistematis. Untuk
itu, penilaian kinerja seorang Pegawai Negeri Sipil pada prinsipnya dapat
dilihat dari tingkat kemajuan yang telah dicapai aparatur dalam bekerja.
Tingkat kemajuan aparatur dapat dinilai dari Daftar
Nilai Pekerjaan (DP3) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. Tahun
1979. DP3 merupakan suatu daftar yang memuat hasil penilaian pelaksanaan
pekerjaan seorang Pegawai negeri Sipil dalam jangka waktu 1 tahun DP3 dibuat oleh pejabat nilai, yaitu atasan
langsung pegawai yang bersangkutan. DP3 mencakup aspek-aspek penilaian terhadap
Kesetiaan, Prestasi Kerja, Tanggung jawab, Ketaatan, Kejujuran, Prakarsa, dan
Kepemimpinan.
Sementara itu banyak faktor yang mempengaruhi kinerja
pegawai. Pegawai bekerja dengan produktif atau tidak tergantung pada
motivasi, kepuasan kerja, tingkat konflik, kondisi fisik pekerjaan, system
kompensasi, desain pekerjaan dan aspek-aspek ekonomi, teknis serta keperilakuan
lainnya.
Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang
digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas.
Pengukuran kinerja juga digunakan untuk menilai pencapaian tujuan dan
sasaran (goals and objective). Pengukuran kinerja organisasi menurut LAN
dan BPKP (2000) dapat dilakukan terhadap aspek:
1)
Aspek finansial
Aspek finansial meliputi anggaran rutin dan
pembangunan dari suatu instansi pemerintah. Karena aspek finansial dapat
dianalogikan sebagai aliran darah dalam tubuh manusia, maka aspek finansial
merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pengukuran kinerja.
2)
Kepuasan pelanggan
Dalam globalisasi perdagangan, peran dan posisi
pelanggan sangat krusial dalam penentuan strategi organisasi. Hal serupa juga
terjadi pada instansi pemerintah. Dengan semakin banyaknya tuntutan masyarakat
akan pelayanan yang berkualitas, maka instansi pemerintah dituntut untuk secara
terus menerus memberikan pelayanan yang berkualitas prima.
3)
Operasi bisnis internal
Informasi operasi bisnis internal diperlukan untuk
memastikan bahwa seluruh kegiatan instansi pemerintah sudah in-concert (seirama) untuk mencapai
tujuan dan sasaran organisasi seperti yang tercantum dalam rencana strategi.
4)
Kepuasan pegawai
Organisasi pegawai
merupakan asset yang harus dikelola dengan baik. Apabila pegawai tidak dikelola dengan baik, maka kehancuran
instansi pemerintah sungguh sulit untuk dicegah.
5)
Kepuasan komunitas dan shareholders/stakeholders
Instansi pemerintah
tidak beroperasi "in vacuum"
artinya kegiatan instansi pemerintah
berinteraksi dengan berbagai pihak yang menaruh kepentingan terhadap
keberadaannya.
6)
Waktu
Ukuran waktu
juga merupakan variabel yang perlu diperhatikan dalam desain pengukuran kinerja. Sering
informasi untuk pengambilan keputusan terlambat diterima, sementara informasi
yang ada sering sudah tidak relevan atau kadaluwarsa.
Pengukuran kinerja dikemukakan oleh Bernandin &
Russell (1993:135) yang
dikutip oleh Faustino cardoso gomes
dalam bukunya Human Resource
Managemen yaitu sebagai berikut :
1. Quantity of work : jumlah kerja yang
dilakukan dalam suatu periode yang ditentukan.
2. Quality of work : kualitas kerja yang
dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapanya.
3. Job Knowledge : luasnya pengetahuan
mengenai pekerjaan dan keterampilannya.
4. Creativeness : keaslian gagasan
–gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang timbul.
5. Cooperation : kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain
atau sesama anggota organisasi
6. Dependability : kesadaran untuk dapat
dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja.
7. Initiative : semangat untuk
melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggungjawabnya.
8. Personal Qualities : menyangkut kepribadian,
kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas pribadi.
Sedangkan Agus Dharma dalam bukunya
Manajemen Supervisi (2003:355) mengatakan ”hampir semua cara pengukuran kinerja
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.
a. Kuantitas, yaitu jumlah yang
harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif melibatkan perhitungan
keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Ini berkaitan dengan jumlah
keluaran yang dihasilkan.
b. Kualitas, yaitu mutu yang
harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan
pengukuran ”tingkat kepuasan”, yaitu seberapa baik penyelesaiannya. Ini
berkaitan dengan bentuk keluaran.
c. Ketepatan waktu, yaitu sesuai
tidaknya dengan waktu yang direncanakan. Pengukuran ketepatan waktu merupakan
jenis khusus dari pengukuran kuantitatif yang menentukan ketepatan waktu
penyelesaian suatu kegiatan.
Adapun aspek-aspek standar kinerja menurut A.A.Anwar
Prabu Mangkunegara (2005:18-19) terdiri dari aspek kuantitatif dan aspek
kualitatif. Aspek kuantitatif meliputi:
1)
Proses kerja
dan kondisi pekerjaan
2)
Waktu yang
dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan,
3)
Jumlah
kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan, dan
4)
Jumlah dan
jenis pemberian pelayanan dalam bekerja.
Sedangkan aspek kualitatif
meliputi:
1)
Ketepatan kerja
dan kualitas pekerjaan
2)
Tingkat
kemampuan dalam bekerja,
3)
Kemampuan menganlisis
data/informasi, kemampuan/kegagalan menggunakan mesin/peralatan, dan ;
4)
Kemampuan
mengevaluasi (keluhan/keberatan konsumen).
c.
Indikator
Kinerja Pemerintah
Indikator kinerja atau performance indicators kadang-kadang dipergunakan secara bergantian
dengan ukuran kinerja (performance
indicators), tetapi banyak pula yang membedakannya. Pengukuran kinerja
berkaitan dengan hasil yang dapat dikuantitatifkan dan mengusahakan data
setelah kejadian. Indikator kinerja aparatur dipakai untuk aktivitas yang hanya
dapat ditetapkan secara lebih kuantitatif atas dasar perilaku aparatur yang
dapat diamati.
Indikator kinerja menganjurkan sudut pandang prospektif
(harapan ke depan) daripada retrospektif (melihat ke belakang). Hal ini
menunjukkan jalan pada aspek kinerja aparatur yang perlu diobservasi (Wibowo,
2007:76). Indikator tersebut dapat dijelaskan sebagaimana bagan di bawah ini.
Gambar 2.1
Indikator Kinerja Pemerintah
Sumber : Paul Hersey (1996) dalam (Wibowo, 2007:76).
Menurut Wibowo
(2007) terdapat tujuh indikator kinerja pemerintah, dua di antaranya
mempunyai peran sangat penting, yaitu tujuan dan motif. Kinerja pemerintah
ditentukan oleh tujuan organisasi yang hendak dicapai dan untuk melakukannya
diperlukan adanya motif. Tanpa
dorongan motif untuk mencapai tujuan, kinerja tidak akan berjalan. Namun, kinerja memerlukan adanya dukungan sarana, kompetensi, peluang, standar, dan
umpan balik. Kaitan di antara ketujuh
indikator tersebut digambarkan oleh Hersey, Blanchard, dan Johnson dengan
penjelasan seperti berikut:
1)
Tujuan (Goal)
Tujuan merupakan keadaan yang berbeda yang secara
aktif dicari oleh seorang individu atau organisasi untuk dicapai.
2)
Standar (Standart)
Standar merupakan suatu ukuran apakah tujuan yang
diinginkan dapat dicapai.
3)
Umpan Balik (Feedback)
Umpan balik merupakan masukan yang dipergunakan
untuk mengukur kemajuan kinerja, standar kerja, dan pencapaian tujuan.
4)
Alat atau Sarana (Mean)
Alat atau sarana merupakan sumberdaya yang dapat
dipergunakan untuk membantu menyelesaikan tujuan dengan sukses.
5)
Kompetensi (Competence)
Kompetensi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang untuk menjalankan pekerjaan yang diberikan kepadanya dengan baik.
6)
Motif (Motive)
Motif merupakan alasan atau pendorong bagi seseorang
untuk melakukan sesuatu.
7)
Peluang (Opportunity)
Pekerja perlu
mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan prestasi kerjanya.
Indikator kinerja sebagaimana disebutkan di atas
mengandung makna bahwa tujuan bukanlah persyaratan, juga bukan merupakan sebuah
keinginan. Tujuan merupakan sesuatu keadaan yang lebih baik yang ingin dicapai oleh organisasi di masa yang
akan datang. Dengan demikian tujuan menunjukkan arah ke mana kinerja harus
dilakukan. Namun demikian dalam upaya mencapai tujuan perlu adanya sebuah
standar. Tanpa standar, tidak akan dapat diketahui kapan suatu tujuan tercapai.
Standar menjawab pertanyaan tentang kapan sukses atau gagal. Kinerja seseorang
dikatakan berhasil apabila mampu mencapai standar yang ditentukan atau
disepakati bersama antara atasan dan bawahan.
Selanjutnya, indikator kinerja umpan balik dilakukan
sebagai evaluasi terhadap kinerja dan sebagai hasilnya dapat dilakukan
perbaikan kinerja. Sementara itu alat dan sarana akan berguna sebagai pendukung
kelancaran pencapaian tujuan. Tanpa alat dan sarana, tugas pekerjaan spesifik
tidak dapat dilakukan dan tujuan tidak dapat diselesaikan sebagaimana seharusnya.
Pada indikator kompetensi memungkinkan seseorang mewujudkan tugas yang
berkaitan dengan pekerjaan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Seterusnya
motivasi menjadikan dorongan bagi karyawan untuk lebih bergairah dalam
melakukan pekerjaannya. Manajer memfasilitasi motivasi kepada karyawan dengan
insentif berupa uang, memberikan pengakuan, menetapkan tujuan menantang,
menetapkan standar terjangkau, meminta umpan balik, memberikan kebebasan
melakukan pekerjaan termasuk waktu melakukan pekerjaan, menyediakan sumber daya
yang diperlukan dan menghapuskan tindakan yang mengakibatkan disintensif.
Indikator yang terakhir adalah peluang berprestasi,
dimana pekerja perlu mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan prestasi kerjanya
Terdapat dua faktor yang menyumbangkan pada adanya kekurangan kesempatan untuk
berprestasi yaitu ketersediaan waktu dan kemampuan untuk memenuhi syarat. Tugas
mendapatkan prioritas lebih tinggi, mendapat perhatian lebih banyak, dan
mengambil waktu yang tersedia. Jika pekerja dihindari karena supervisor tidak
percaya terhadap kualitas atau kepuasan konsumen, mereka secara efektif akan
dihambat dari kemampuan memenuhi syarat untuk berprestasi.
d.
Faktor-faktor
Kinerja
Kinerja merupakan penampilan hasil kerja pegawai baik
secara kuantitas maupun kualitas. Kinerja dapat berupa penampilan kerja
perorangan maupun kelompok (Ilyas, 1993). Kinerja organisasi merupakan hasil
interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja sejumlah individu dalam
organisasi. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi (determinan) kinerja
individu, perlu dilakukan pengkajian terhadap teori kinerja.
Secara umum faktor fisik dan non fisik sangat
mempengaruhi kinerja. Berbagai kondisi lingkungan fisik sangat mempengaruhi
kondisi karyawan dalam bekerja. Selain itu, kondisi lingkungan fisik juga akan
mempengaruhi berfungsinya faktor lingkungan non fisik. Pada kesempatan ini
pembahasan difokuskan pada lingkungan non-fisik, yaitu kondisi-kondisi yang
sebenarnya sangat melekat dengan sistem manajerial perusahaan.
Selanjutnya ditambahkan berdasarkan penelitian Robinson
dan Larsen (1990) terhadap para pegawai penyuluh kesehatan pedesaan di Columbia
menunjukkan bahwa pemberian imbalan mempunyai pengaruh yang lebih besar
terhadap kinerja pegawai dibanding pada kelompok pegawai yang tidak diberi.
Menurut Mitchell dalam Timpe (1999), motivasi bersifat individual, dalam arti
bahwa setiap orang termotivasi oleh berbagai pengaruh hingga berbagai tingkat.
Atas dasar pendapat di atas, mengingat sifatnya ini,
untuk peningkatan kinerja individu dalam organisasi, menuntut para manajer
untuk mengambil pendekatan tidak langsung, menciptakan motivasi melalui suasana
organisasi yang mendorong para pegawai untuk lebih propduktif. Suasana ini
tercipta melalui pengelolaan faktor-faktor organisasi dalam bentuk pengaturan
sistem imbalan, struktur, desain pekerjaan serta pemeliharaan komunikasi
melalui praktek kepemimpinan yang mendorong rasa saling percaya.
Hersey, Blanchard, dan Johnson dalam Wibowo (2007:75)
menggambarkan sebagai berikut :
Hubungan
antara kinerja dengan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam bentuk Satelite Model. Menurut satelite model, kinerja organisasi
diperoleh dari terjadinya integrasi dari faktor-faktor pengetahuan, sumberdaya
bukan manusia, posisi strategis, proses sumberdaya manusia, dan struktur.
Kinerja dilihat sebagai pencapaian dan tanggung jawab bisnis dan sosial dari
perspektif pihak yang mempertimbangkan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor pengetahuan meliputi
masalah-masalah teknis, administratif, proses kemanusiaan dan sistem. Sumber
daya manusia meliputi peralatan, pabrik, lingkungan kerja, teknologi, kapital,
dan dana yang dapat dipergunakan. Posisi meliputi masalah bisnis atau pasar,
kebijakan sosial, sumberdaya manusia dan perubahan lingkungan. Proses
kemanusian terdiri dari masalah nilai, sikap, norma, dan struktur mencakup
masalah organisasi, sistem manajemen, sistem informasi dan fleksibilitas. Hersey,
Blanchard, dan Johnson menengarai bahwa kebanyakan manajer sangat efektif dalam
mengungkapkan tentang apa yang menjadi masalah dalam kinerja, akan tetapi, pada
umumnya lemah dalam mengetahui tentang bagaimana masalah tersebut
terjadi.
Pendapat lain tentang faktor-faktor yang memengaruhi
kinerja, antara lain dikemukakan Armstrong dan Baron (2008:16) yaitu sebagai
berikut :
1)
Personal factors, ditunjukkan oleh tingkat
keterampilan, kompetensi yang dimiliki, motivasi, dan komitmen individu.
2)
Leadership factor, ditentukan oleh kualitas
dorongan, bimbingan, dan dukungan yang dilakukan manajer dan team leader.
3)
Team factors, ditunjukkan oleh kualitas
dukungan yang diberikan oleh rekan sekerja.
4)
System factors, ditunjukkan oleh adanya sistem kerja dan
fasilitas yang diberikan organisasi.
5)
Contextual/situational factors, ditunjukkan oleh
tingginya tingkat tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal.
Atkinson mengindikasikan bahwa kinerja merupakan fungsi
motivasi dan kemampuan. Dengan demikian, model persamaan kinerja = f (motivasi, kemampuan).
Sementara itu, Lyman Porter dan Edward Lawler berpendapat bahwa kinerja
merupakan fungsi dari keinginan melakukan pekerjaan, keterampilan yang perlu
untuk menyelesaikan tugas, pemahaman yang jelas atas apa yang dikerjakan dan
bagaimana mengerjakannya. Dengan demikian, dapat dirumuskan model persamaan
kinerja = f (keinginan melakukan
pekerjaan, keterampilan, pemahaman apa dan bagaimana melakukan). Sementara
itu, Jay Lorsch dan Paul Laurence meng-gunakan pemahaman bahwa kinerja adalah
fungsi atribut individu, organisasi, dan lingkungan sehingga dirumuskan model
persamaan kinerja = f (atribut individu, organisasi, lingkungan).
Sejalan dengan pendapat di atas, Hersey, Blanchard, dan
Johnson merumuskan adanya tujuh faktor kinerja yang memengaruhi kinerja dan
dirumuskan dengan akronim ACHIEVE.
A
- Ability (knowledge dan skill)
C
- Clarity (understanding atau role perception)
H
- Help (organisational support)
I
- Incentive (motivation atau willingness)
E
- Evaluation (coaching dan performance feedback)
V
- Validity (valid dan legal personnel practices)
E
- Environment (enviromental fit)
Atas dasar pemahaman terhadap berbagai pendapat di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan kinerja akan sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor baik yang bersumber dari pekerja sendiri maupun yang bersumber
dari organisasi. Dari pekerja sangat dipengaruhi oleh kemampuan atau
kompetensinya. Sementara itu, dari segi organisasi dipengaruhi oleh seberapa
baik pemimpin memberdayakan pekerjanya; bagaimana mereka memberikan penghargaan
pada pekerja; dan bagaimana mereka membantu meningkatkan kemampuan kinerja
pekerja melalui coaching, mentoring, dan counselling.
Menurut Prawirosentono (1999) kinerja seorang pegawai
akan baik, jika pegawai mempunyai keahlian yang tinggi, kesediaan untuk
bekerja, adanya imbalan/upah yang layak dan mempunyai harapan masa depan.
Secara teoritis ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan
kinerja individu, yaitu: variabel individu, variabel organisasi dan variabel
psikologis.
a.
Kelompok variabel individu terdiri dari
variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang pribadi dan demografis.
Menurut Gibson (1987), variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor
utama yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu. Sedangkan variabel
demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung.
b.
Kelompok variabel organisasi menurut
Gibson (1987) terdiri dari variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur,
densain pekerjaan, dan budaya organisasi. Menurut Kopelman (1986), variabel
imbalan akan berpengaruh terhadap variabel motivasi, yang pada akhirnya secara
langsung mempengaruhi kinerja individu.
c.
Kelompok variabel psikologis terdiri
dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini
menurut Gibson (1987) banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial,
pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis.
e.
Pendidikan Dan Pelatihan Bagi Para Kinerja Pemerintah
Pendidikan
dan pelatihan merupakan upaya yang dilakukan oleh suatu instansi untuk dapat
memperbaiki dan meningkatkan keterampilan dan pengetahuan pegawai agar sesuai
harapan instansi.
Menurut
Malayu S.P.Hasibun (2003:69), “ pendidikan meningkatkan keahlian teoritis,
konseptual moral pegawai, sedangkan pelatihan bertujuan untuk meningkatkan
keterampilan teknis pelaksanaan pekerjaan pegawai.
Beberapa
tujuan khusus dari suatu pendekatan dan pelatihan.
a) Meningkatkan
produktivitas.
b) Meningkatkan
kualitas.
c) Meningkatkan
waktu perencanaan tenaga kerja.
d) Meningkatkan
semangat tenaga kerja.
e) Sebagai
balas jasa tidak langsung kepada pegawai.
f) Mencegah
kekadaluarsaan.
g) Meningkatkan
kesehatan dan keselamatan kerja.
h) Kesempatan
pengembangan diri.
f.
Evaluasi
kinerja pemerintah dari segi pelatihan dan pendidikan
suatu kinerja perlu diadakan pengukuran
evaluasi salah satunya dengan cara pelatihan dan pendidikan. Dapat ditinjau
hasilnya dengan :
1. Reaksi
peserta terhadap pelatihan.
Peserta dapat memahami dan
merasakan manfaat dari program pelatihan.
2. Pengetahuan
yang diperoleh melalui pengalaman pelatihan.
Mengadakan pretest yakni tes
sebelum pelatihan dan post test setelah pelatihan.
3. Perubahan
perilaku.
4. Perubahan
pada organisasi.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam menciptakan suatu kinerja
pemerintahan yang efektif perlu adanya 3 faktor utama yaitu, indikator,
pengukuran dalam kinerja, dan faktor-faktor lingkungan pendukung. menurut para
ahli, Davey (1988:81) mengemukakan bahwa efektifitas delegasi kewenangan,
kekuasaan dan tanggung jawab tergantung kepada tiga variabel yaitu, luas
tanggung jawab yang dipikulkan, tersedianya sumber-sumber dan derajat kebijakan
(discreation) dalam melaksanakan fungsi-fungsi dan mengalokasikan sumber-sumber
tersebut.pemerintah daerah melaksanakan fungsi alokasi dengan menggunakan
instrumen kebijakan fiskal yang dituangkan setiap tahun dalam anggaran
pendapatan dan belanja daerah (apbd). Shah (1994:31-32) menyebutkan bahwa
pengeluaran pemerintah membantu dalam pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan,
sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja dan alat
koordinasi bagi semua aktifitas dari berbagai unit kerja. Selanjutnya mardiasmo
(1999:11) mengemukakan bahwa salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang
harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan
anggaran daerah, karena anggaran daerah atau apbd merupakan instrumen kebijakan
yang utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah
menduduki posisi penting dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas
pemerintah daerah. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan
besarnya pendapatan dan pengeluaran dan otorisasi pengeluaran di masa yang akan
datang.
Selain itu pada suatu kinerja perlu
diadakan pengukuran evaluasi salah satunya dengan cara pelatihan dan
pendidikan. Dapat ditinjau hasilnya dengan :
1. Reaksi
peserta terhadap pelatihan.
Peserta dapat memahami dan
merasakan manfaat dari program pelatihan.
2. Pengetahuan
yang diperoleh melalui pengalaman pelatihan.
Mengadakan pretest yakni tes
sebelum pelatihan dan post test setelah pelatihan.
3. Perubahan
perilaku.
4. Perubahan
pada organisasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Thomas C.
Alewine, 2002, Seri Manajemen Sumber Daya Manusia “ Kinerja /
Performance “
(Ed), Penilaian Kinerja dan Standar Kinerja, hal 244 – 249,
Jakarta,
PT. Elex Media Komputindo-Kelompok Gramedia.
Zainun, Buchari.
(2002). Administrasi dan Manajemen Pemerintahan Negara Indonesia menurut UUD
1945. Jakarta: Haji Masagung.
Dwiyanto,
Agus. (1995). Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik. Yogyakarta:
FISIPOL UGM.
Furtwengler, Dale. (2002). Penuntun Sepuluh Menit Penilaian Kinerja. Terjemahan Fandy Tjiptono.
Furtwengler, Dale. (2002). Penuntun Sepuluh Menit Penilaian Kinerja. Terjemahan Fandy Tjiptono.
Yogyakarta: Andi.
WordPress.com
weblog/kinerja-aparatur,definisi,pengukuran kinerja