Jumat, 27 Juli 2012

kinerja aparatur pemerintahan


BAB I
LATAR BELAKANG


Keberhasilan kinerja pemerintahan dapat dinilai dari pembangunan baik di bidang ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Masyarakat luas menilai keberhasilan pembangunan pada bidang ekonomi yang terwujud dalam pembangunan infrastruktur. Pembangunan bukan hanya berarti penekanan pada akselerasi dan keberhasilan di bidang ekonomi. Hal ini sejalan dengan pendapat Michael P. Todaro bahwa pembangunan merupakan suatu proses multidimensi yang meliputi pula reorganisasi dan pembaharuan seluruh sistem dan aktivitas ekonomi dan sosial dalam mensejahterakan kehidupan masyarakat (Kamaludin, 1983:9).
Tujuan dan sasaran pembangunan yaitu masyarakat adil dan makmur, perlu diusahakan adanya keserasian dan keselarasan dalam pemakaian sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM) serta permodalan dan teknologi. Permodalan menjadi faktor penting dalam pelaksanaan pembangunan, maka perlu ditingkatkannya pendapatan keuangan dengan menggali sumber-sumber keuangan baik dari SDA, non migas, jasa, pajak maupun pendapatan-pendapatan lainnya yang sah.
























BAB II
RUMUSAN MASALAH

1.      Apakah definisi dari kinerja aparatur menurut para ahli?
2.      Bagaimana pengukuran kinerja aparatur ?
3.      Apa saja indikator dari kinerja aparatur ?
4.      Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja aparatur?


















BAB III
PEMBAHASAN

a.      Pengertian Kinerja Pemerintah
Kinerja pemerintah dalam lingkup kajian organisasi adalah secara makro, tujuan, dan cita-cita, dan harapan suatu organisasi yang diusahakan pencapaiannya dan perwujudannya melalui organisasi tersebut. Bahwa sekelompok orang yang memiliki kesetiaan kepentingan juga diusahakan pencapaiannya melalui organisasi, sedangkan pada tingkat individu, berbagai tujuan, keinginan, cita-cita, harapan, dan kebutuhannya hanya bisa tersalurkan, terpenuhi, dan terpuaskan dengan menggunakan jalur organisasional. Dikatakan sedemikian maksudnya adalah karena adanya hubungan ketergantungan antara manusia dengan organisasi dalam arti bahwa manusia tidak mungkin lagi mencapai berbagai tujuannya tanpa menggunakan jalur organisasional dan sebagainya.
Sementara itu pengertian kinerja itu sendiri menurut Wibowo (2007:7) “Berasal dari pengertian ‘performance’ yang memberikan pengertian sebagai hasil kerja atau prestasi kerja.” Namun, sebenarnya Amstrong dan Baron menjelaskan bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi. Selanjutnya Sudarto (1999:2) menyatakan bahwa “Kinerja adalah sebagai hasil atau kerja dari suatu organisasi yang dilakukan oleh individu yang dapat ditunjukkan secara nyata dan dapat diukur.”
Sejalan dengan pengertian kinerja di atas Mangkunegara (2007:67) menyatakan sebagai berikut:
Kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik pengertian bahwa kinerja adalah perbuatan, penampilan, prestasi, daya guna dan unjuk kerja dari suatu organisasi atau individu yang dapat ditunjukkan secara nyata dan dapat diukur. Dengan adanya beberapa pengertian kinerja yang telah disebut diatas, kinerja perseorangan harus lebih diperhatikan karena kinerja organisasi merupakan hasil kumpulan kinerja perseorangan. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai mempunyai peranan yang penting dalam suatu organisasi, oleh karena itu seorang pegawai negeri perlu berada pada kondisi yang unggul, artinya mampu mewujudkan perubahan dengan secara inovatif dan proaktif.
Sementara itu Mustopadidjaja (2002) menjelaskan bahwa untuk organisasi pemerintahan, kinerja pemerintahan yang baik (good government performance) bukan saja memerlukan kebijakan yang baik (good policy), tetapi juga system dan proses pelaksanaan kebijakan yang baik (good policy implementation system and process); dan kedua hal terakhir itu memerlukan system administrasi pemerintahan negara yang baik (good publik administration system) yang mensyaratkan adanya sumberdaya manusia yang baik dan diindahkannya prinsip "the right men and women and the right places". Kebijakan yang baik tidak akan menghasilkan kinerja yang baik apabila system dan proses pelaksanaannya tidak baik, dan kesemuanya itu juga tergantung pada kompetensi sumberdaya manusianya yang berperan dalam system dan proses kebijakan.
Pengertian ini mengisaratkan bahwa organisasi pemerintahan hendaknya menjadi organisasi peduli (carring) yang menjadikan pertimbangan moral menjadi dasar utama. Karakteristik dari organisasi ini adalah kepedulian kepada individu sebagai makhluk yang memiliki nilai-nilai eksistensi, keuntungan bukan merupakan tujuan utama tetapi lebih pada internalisasi kebutuhan dan kehendak organisasi, memberikan dorongan untuk mengaktualisasi dan mengembangkan potensi individu yang bermanfaat bagi tujuan organisasi.



b.      Pengukuran Kinerja Pemerintah
Penilaian pelaksanaan pekerjaan merupakan suatu proses penilaian individu mengenai kemajuan penilaian individu mengenai pelaksanaan pekerjaan di tempat kerja untuk mempermudah kemajuan secara sistematis. Untuk itu, penilaian kinerja seorang Pegawai Negeri Sipil pada prinsipnya dapat dilihat dari tingkat kemajuan yang telah dicapai aparatur dalam bekerja.
Tingkat kemajuan aparatur dapat dinilai dari Daftar Nilai Pekerjaan (DP3) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. Tahun 1979. DP3 merupakan suatu daftar yang memuat hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan seorang Pegawai negeri Sipil dalam jangka waktu 1 tahun  DP3 dibuat oleh pejabat nilai, yaitu atasan langsung pegawai yang bersangkutan. DP3 mencakup aspek-aspek penilaian terhadap Kesetiaan, Prestasi Kerja, Tanggung jawab, Ketaatan, Kejujuran, Prakarsa, dan Kepemimpinan.
Sementara itu banyak faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai. Pegawai bekerja dengan produktif atau tidak tergantung pada motivasi, kepuasan kerja, tingkat konflik, kondisi fisik pekerjaan, system kompensasi, desain pekerjaan dan aspek-aspek ekonomi, teknis serta keperilakuan lainnya.
Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Pengukuran kinerja juga digunakan untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran (goals and objective). Pengukuran kinerja organisasi menurut LAN dan BPKP (2000) dapat dilakukan terhadap aspek:
1)        Aspek finansial
Aspek finansial meliputi anggaran rutin dan pembangunan dari suatu instansi pemerintah. Karena aspek finansial dapat dianalogikan sebagai aliran darah dalam tubuh manusia, maka aspek finansial merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pengukuran kinerja.

2)        Kepuasan pelanggan
Dalam globalisasi perdagangan, peran dan posisi pelanggan sangat krusial dalam penentuan strategi organisasi. Hal serupa juga terjadi pada instansi pemerintah. Dengan semakin banyaknya tuntutan masyarakat akan pelayanan yang berkualitas, maka instansi pemerintah dituntut untuk secara terus menerus memberikan pelayanan yang berkualitas prima.
3)        Operasi bisnis internal
Informasi operasi bisnis internal diperlukan untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan instansi pemerintah sudah in-concert (seirama) untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi seperti yang tercantum dalam rencana strategi.
4)        Kepuasan pegawai
Organisasi pegawai merupakan asset yang harus dikelola dengan baik. Apabila pegawai tidak dikelola dengan baik, maka kehancuran instansi pemerintah sungguh sulit untuk dicegah.
5)        Kepuasan komunitas dan shareholders/stakeholders
Instansi pemerintah tidak beroperasi "in vacuum" artinya kegiatan instansi pemerintah berinteraksi dengan berbagai pihak yang menaruh kepentingan terhadap keberadaannya.
6)        Waktu
Ukuran waktu juga merupakan variabel yang perlu diperhatikan dalam desain pengukuran kinerja. Sering informasi untuk pengambilan keputusan terlambat diterima, sementara informasi yang ada sering sudah tidak relevan atau kadaluwarsa.
Pengukuran kinerja dikemukakan oleh Bernandin & Russell (1993:135) yang dikutip oleh Faustino cardoso gomes dalam bukunya Human Resource Managemen  yaitu sebagai berikut :
1.      Quantity of work : jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode yang ditentukan.
2.      Quality of work : kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapanya.

3.      Job Knowledge : luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya.
4.      Creativeness : keaslian gagasan –gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul.
5.      Cooperation : kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain atau sesama anggota organisasi
6.      Dependability : kesadaran untuk dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja.
7.      Initiative : semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggungjawabnya.
8.      Personal Qualities : menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas pribadi.

Sedangkan Agus Dharma dalam bukunya Manajemen Supervisi (2003:355) mengatakan ”hampir semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.
a. Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan.
b. Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran ”tingkat kepuasan”, yaitu seberapa baik penyelesaiannya. Ini berkaitan dengan bentuk keluaran.
c. Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan. Pengukuran ketepatan waktu merupakan jenis khusus dari pengukuran kuantitatif yang menentukan ketepatan waktu penyelesaian suatu kegiatan.
Adapun aspek-aspek standar kinerja menurut A.A.Anwar Prabu Mangkunegara (2005:18-19) terdiri dari aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Aspek kuantitatif meliputi:
1)      Proses kerja dan kondisi pekerjaan
2)      Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan,
3)      Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan, dan
4)      Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja.



Sedangkan aspek kualitatif meliputi:
1)      Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan
2)      Tingkat kemampuan dalam bekerja,
3)      Kemampuan menganlisis data/informasi, kemampuan/kegagalan menggunakan mesin/peralatan, dan ;
4)      Kemampuan mengevaluasi (keluhan/keberatan konsumen).

c.       Indikator Kinerja Pemerintah
Indikator kinerja atau performance indicators kadang-kadang dipergunakan secara bergantian dengan ukuran kinerja (performance indicators), tetapi banyak pula yang membedakannya. Pengukuran kinerja berkaitan dengan hasil yang dapat dikuantitatifkan dan mengusahakan data setelah kejadian. Indikator kinerja aparatur dipakai untuk aktivitas yang hanya dapat ditetapkan secara lebih kuantitatif atas dasar perilaku aparatur yang dapat diamati.
Indikator kinerja menganjurkan sudut pandang prospektif (harapan ke depan) daripada retrospektif (melihat ke belakang). Hal ini menunjukkan jalan pada aspek kinerja aparatur yang perlu diobservasi (Wibowo, 2007:76). Indikator tersebut dapat dijelaskan sebagaimana bagan di bawah ini.

Gambar 2.1
Indikator Kinerja Pemerintah
Sumber :  Paul Hersey (1996) dalam (Wibowo, 2007:76).

Menurut Wibowo (2007) terdapat tujuh indikator kinerja pemerintah, dua di antaranya mempunyai peran sangat penting, yaitu tujuan dan motif. Kinerja pemerintah ditentukan oleh tujuan organisasi yang hendak dicapai dan untuk melakukannya diperlukan adanya motif. Tanpa dorongan motif untuk mencapai tujuan, kinerja tidak akan berjalan. Namun, kinerja memerlukan adanya dukungan sarana, kompetensi, peluang, standar, dan umpan balik. Kaitan di antara ketujuh indikator tersebut digambarkan oleh Hersey, Blanchard, dan Johnson dengan penjelasan seperti berikut:
1)        Tujuan (Goal)
Tujuan merupakan keadaan yang berbeda yang secara aktif dicari oleh seorang individu atau organisasi untuk dicapai.
2)        Standar (Standart)
Standar merupakan suatu ukuran apakah tujuan yang diinginkan dapat dicapai.
3)        Umpan Balik (Feedback)
Umpan balik merupakan masukan yang dipergunakan untuk mengukur kemajuan kinerja, standar kerja, dan pencapaian tujuan.
4)        Alat atau Sarana (Mean)
Alat atau sarana merupakan sumberdaya yang dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan tujuan dengan sukses.
5)        Kompetensi (Competence)
Kompetensi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menjalankan pekerjaan yang diberikan kepadanya dengan baik.
6)        Motif (Motive)
Motif merupakan alasan atau pendorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu.
7)        Peluang (Opportunity)
Pekerja perlu mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan prestasi kerjanya.
Indikator kinerja sebagaimana disebutkan di atas mengandung makna bahwa tujuan bukanlah persyaratan, juga bukan merupakan sebuah keinginan. Tujuan merupakan sesuatu keadaan yang lebih baik yang ingin dicapai oleh organisasi di masa yang akan datang. Dengan demikian tujuan menunjukkan arah ke mana kinerja harus dilakukan. Namun demikian dalam upaya mencapai tujuan perlu adanya sebuah standar. Tanpa standar, tidak akan dapat diketahui kapan suatu tujuan tercapai. Standar menjawab pertanyaan tentang kapan sukses atau gagal. Kinerja seseorang dikatakan berhasil apabila mampu mencapai standar yang ditentukan atau disepakati bersama antara atasan dan bawahan.
Selanjutnya, indikator kinerja umpan balik dilakukan sebagai evaluasi terhadap kinerja dan sebagai hasilnya dapat dilakukan perbaikan kinerja. Sementara itu alat dan sarana akan berguna sebagai pendukung kelancaran pencapaian tujuan. Tanpa alat dan sarana, tugas pekerjaan spesifik tidak dapat dilakukan dan tujuan tidak dapat diselesaikan sebagaimana seharusnya. Pada indikator kompetensi memungkinkan seseorang mewujudkan tugas yang berkaitan dengan pekerjaan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Seterusnya motivasi menjadikan dorongan bagi karyawan untuk lebih bergairah dalam melakukan pekerjaannya. Manajer memfasilitasi motivasi kepada karyawan dengan insentif berupa uang, memberikan pengakuan, menetapkan tujuan menantang, menetapkan standar terjangkau, meminta umpan balik, memberikan kebebasan melakukan pekerjaan termasuk waktu melakukan pekerjaan, menyediakan sumber daya yang diperlukan dan menghapuskan tindakan yang mengakibatkan disintensif.
Indikator yang terakhir adalah peluang berprestasi, dimana pekerja perlu mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan prestasi kerjanya Terdapat dua faktor yang menyumbangkan pada adanya kekurangan kesempatan untuk berprestasi yaitu ketersediaan waktu dan kemampuan untuk memenuhi syarat. Tugas mendapatkan prioritas lebih tinggi, mendapat perhatian lebih banyak, dan mengambil waktu yang tersedia. Jika pekerja dihindari karena supervisor tidak percaya terhadap kualitas atau kepuasan konsumen, mereka secara efektif akan dihambat dari kemampuan memenuhi syarat untuk berprestasi.

d.      Faktor-faktor Kinerja
Kinerja merupakan penampilan hasil kerja pegawai baik secara kuantitas maupun kualitas. Kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok (Ilyas, 1993). Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja sejumlah individu dalam organisasi. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi (determinan) kinerja individu, perlu dilakukan pengkajian terhadap teori kinerja.
Secara umum faktor fisik dan non fisik sangat mempengaruhi kinerja. Berbagai kondisi lingkungan fisik sangat mempengaruhi kondisi karyawan dalam bekerja. Selain itu, kondisi lingkungan fisik juga akan mempengaruhi berfungsinya faktor lingkungan non fisik. Pada kesempatan ini pembahasan difokuskan pada lingkungan non-fisik, yaitu kondisi-kondisi yang sebenarnya sangat melekat dengan sistem manajerial perusahaan.
Selanjutnya ditambahkan berdasarkan penelitian Robinson dan Larsen (1990) terhadap para pegawai penyuluh kesehatan pedesaan di Columbia menunjukkan bahwa pemberian imbalan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap kinerja pegawai dibanding pada kelompok pegawai yang tidak diberi. Menurut Mitchell dalam Timpe (1999), motivasi bersifat individual, dalam arti bahwa setiap orang termotivasi oleh berbagai pengaruh hingga berbagai tingkat.
Atas dasar pendapat di atas, mengingat sifatnya ini, untuk peningkatan kinerja individu dalam organisasi, menuntut para manajer untuk mengambil pendekatan tidak langsung, menciptakan motivasi melalui suasana organisasi yang mendorong para pegawai untuk lebih propduktif. Suasana ini tercipta melalui pengelolaan faktor-faktor organisasi dalam bentuk pengaturan sistem imbalan, struktur, desain pekerjaan serta pemeliharaan komunikasi melalui praktek kepemimpinan yang mendorong rasa saling percaya.
Hersey, Blanchard, dan Johnson dalam Wibowo (2007:75) menggambarkan sebagai berikut :
Hubungan antara kinerja dengan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam bentuk Satelite Model. Menurut satelite model, kinerja organisasi diperoleh dari terjadinya integrasi dari faktor-faktor pengetahuan, sumberdaya bukan manusia, posisi strategis, proses sumberdaya manusia, dan struktur. Kinerja dilihat sebagai pencapaian dan tanggung jawab bisnis dan sosial dari perspektif pihak yang mempertimbangkan.

Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor pengetahuan meliputi masalah-masalah teknis, administratif, proses kemanusiaan dan sistem. Sumber daya manusia meliputi peralatan, pabrik, lingkungan kerja, teknologi, kapital, dan dana yang dapat dipergunakan. Posisi meliputi masalah bisnis atau pasar, kebijakan sosial, sumberdaya manusia dan perubahan lingkungan. Proses kemanusian terdiri dari masalah nilai, sikap, norma, dan struktur mencakup masalah organisasi, sistem manajemen, sistem informasi dan fleksibilitas. Hersey, Blanchard, dan Johnson menengarai bahwa kebanyakan manajer sangat efektif dalam mengungkapkan tentang apa yang menjadi masalah dalam kinerja, akan tetapi, pada umumnya lemah dalam mengetahui tentang bagaimana masalah tersebut terjadi.
Pendapat lain tentang faktor-faktor yang memengaruhi kinerja, antara lain dikemukakan Armstrong dan Baron (2008:16) yaitu sebagai berikut :
1)        Personal factors, ditunjukkan oleh tingkat keterampilan, kompetensi yang dimiliki, motivasi, dan komitmen individu.
2)        Leadership factor, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan, dan dukungan yang dilakukan manajer dan team leader.
3)        Team factors, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan sekerja.
4)        System factors, ditunjukkan oleh adanya sistem kerja dan fasilitas yang diberikan organisasi.
5)        Contextual/situational factors, ditunjukkan oleh tingginya tingkat tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal.

Atkinson mengindikasikan bahwa kinerja merupakan fungsi moti­vasi dan kemampuan. Dengan demikian, model persamaan kinerja = f (motivasi, kemampuan). Sementara itu, Lyman Porter dan Edward Lawler berpendapat bahwa kinerja merupakan fungsi dari keinginan melakukan pekerjaan, keterampilan yang perlu untuk menyelesaikan tugas, pemahaman yang jelas atas apa yang dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Dengan demi­kian, dapat dirumuskan model persamaan kinerja = f (keinginan melakukan pekerjaan, keterampilan, pemahaman apa dan bagaimana melakukan). Sementara itu, Jay Lorsch dan Paul Laurence meng-gunakan pemahaman bahwa kinerja adalah fungsi atribut individu, organisasi, dan lingkungan sehingga dirumuskan model persamaan kinerja = f (atribut individu, organisasi, lingkungan).
Sejalan dengan pendapat di atas, Hersey, Blanchard, dan Johnson merumuskan adanya tujuh faktor kinerja yang memengaruhi kinerja dan dirumuskan dengan akronim ACHIEVE.
A - Ability (knowledge dan skill)
C - Clarity (understanding atau role perception)
H - Help (organisational support)
I - Incentive (motivation atau willingness)
E - Evaluation (coaching dan performance feedback)
V - Validity (valid dan legal personnel practices)
E - Environment (enviromental fit)
Atas dasar pemahaman terhadap berbagai pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan kinerja akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang bersumber dari pekerja sendiri maupun yang bersumber dari organisasi. Dari pekerja sangat dipengaruhi oleh kemampuan atau kompetensinya. Sementara itu, dari segi organisasi dipengaruhi oleh seberapa baik pemimpin memberdayakan pekerjanya; bagaimana mereka memberikan penghargaan pada pekerja; dan bagaimana mereka membantu meningkatkan kemampuan kinerja pekerja melalui coaching, mentoring, dan counselling.
Menurut Prawirosentono (1999) kinerja seorang pegawai akan baik, jika pegawai mempunyai keahlian yang tinggi, kesediaan untuk bekerja, adanya imbalan/upah yang layak dan mempunyai harapan masa depan. Secara teoritis ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, yaitu: variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis.
a.         Kelompok variabel individu terdiri dari variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang pribadi dan demografis. Menurut Gibson (1987), variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu. Sedangkan variabel demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung.
b.         Kelompok variabel organisasi menurut Gibson (1987) terdiri dari variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, densain pekerjaan, dan budaya organisasi. Menurut Kopelman (1986), variabel imbalan akan berpengaruh terhadap variabel motivasi, yang pada akhirnya secara langsung mempengaruhi kinerja individu.
c.         Kelompok variabel psikologis terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini menurut Gibson (1987) banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis.

e.       Pendidikan Dan Pelatihan Bagi Para Kinerja Pemerintah
Pendidikan dan pelatihan merupakan upaya yang dilakukan oleh suatu instansi untuk dapat memperbaiki dan meningkatkan keterampilan dan pengetahuan pegawai agar sesuai harapan instansi.
Menurut Malayu S.P.Hasibun (2003:69), “ pendidikan meningkatkan keahlian teoritis, konseptual moral pegawai, sedangkan pelatihan bertujuan untuk meningkatkan keterampilan teknis pelaksanaan pekerjaan pegawai.
Beberapa tujuan khusus dari suatu pendekatan dan pelatihan.
a)      Meningkatkan produktivitas.
b)      Meningkatkan kualitas.
c)      Meningkatkan waktu perencanaan tenaga kerja.
d)     Meningkatkan semangat tenaga kerja.
e)      Sebagai balas jasa tidak langsung kepada pegawai.
f)       Mencegah kekadaluarsaan.
g)      Meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja.
h)      Kesempatan pengembangan diri.

f.       Evaluasi kinerja pemerintah dari segi pelatihan dan pendidikan
suatu kinerja perlu diadakan pengukuran evaluasi salah satunya dengan cara pelatihan dan pendidikan. Dapat ditinjau hasilnya dengan         :
1.      Reaksi peserta terhadap pelatihan.
Peserta dapat memahami dan merasakan manfaat dari program pelatihan.
2.      Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman pelatihan.
Mengadakan pretest yakni tes sebelum pelatihan dan post test setelah pelatihan.
3.      Perubahan perilaku.
4.      Perubahan pada organisasi.







BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam menciptakan suatu kinerja pemerintahan yang efektif perlu adanya 3 faktor utama yaitu, indikator, pengukuran dalam kinerja, dan faktor-faktor lingkungan pendukung. menurut para ahli, Davey (1988:81) mengemukakan bahwa efektifitas delegasi kewenangan, kekuasaan dan tanggung jawab tergantung kepada tiga variabel yaitu, luas tanggung jawab yang dipikulkan, tersedianya sumber-sumber dan derajat kebijakan (discreation) dalam melaksanakan fungsi-fungsi dan mengalokasikan sumber-sumber tersebut.pemerintah daerah melaksanakan fungsi alokasi dengan menggunakan instrumen kebijakan fiskal yang dituangkan setiap tahun dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (apbd). Shah (1994:31-32) menyebutkan bahwa pengeluaran pemerintah membantu dalam pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja dan alat koordinasi bagi semua aktifitas dari berbagai unit kerja. Selanjutnya mardiasmo (1999:11) mengemukakan bahwa salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah, karena anggaran daerah atau apbd merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi penting dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran dan otorisasi pengeluaran di masa yang akan datang.
Selain itu pada suatu kinerja perlu diadakan pengukuran evaluasi salah satunya dengan cara pelatihan dan pendidikan. Dapat ditinjau hasilnya dengan  :
1.      Reaksi peserta terhadap pelatihan.
Peserta dapat memahami dan merasakan manfaat dari program pelatihan.
2.      Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman pelatihan.
Mengadakan pretest yakni tes sebelum pelatihan dan post test setelah pelatihan.
3.      Perubahan perilaku.
4.      Perubahan pada organisasi.

























DAFTAR PUSTAKA

Thomas C. Alewine, 2002, Seri Manajemen Sumber Daya Manusia “ Kinerja /
Performance “ (Ed), Penilaian Kinerja dan Standar Kinerja, hal 244 – 249,
Jakarta, PT. Elex Media Komputindo-Kelompok Gramedia.
Zainun, Buchari. (2002). Administrasi dan Manajemen Pemerintahan Negara Indonesia menurut UUD 1945. Jakarta: Haji Masagung.
Dwiyanto, Agus. (1995). Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik. Yogyakarta: FISIPOL UGM.

Furtwengler, Dale. (2002). Penuntun Sepuluh Menit Penilaian Kinerja. Terjemahan Fandy Tjiptono.
Yogyakarta: Andi.
 WordPress.com weblog/kinerja-aparatur,definisi,pengukuran kinerja